running text

siti Latifah

Rabu, 23 Oktober 2013




PERBANDINGAN TEORI PEMBELAJARAN ANAK TUNANETRA DENGAN KENYATAAN DI LAPANGAN
 


Anak tunanetra sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan menulis huruf Braille, penggunaan tongkat, orientasi danmobilitas, serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Berikut ini beberapa kontradiksi teori pembelajaran Tunanetra dan kenyataan di lapangan yang diambil dari pembelajaran di SLB A YKAB yang dilihat saat observasi pada tanggal 18 Mei 2013.
A.     METODE PEMBELAJARAN ANAK TUNANETRA
Metode-metode pengajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga variasi metode pengajaran  bertambah. Pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan. Di bawah ini, ada beberapa metode yang dapat di laksanakan dengan menggunakan fungsi pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode tersebut ialah:
a.       Metode Ceramah
Yang dimaksud dengan metode ceramah ialah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Zuhairini dkk mendefinisikan metode ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan penerangan dan penuturan secara lisan. Untuk penjelasan uraiannya, guru dapat mempergunakan alat-alat bantu mengajar yang lain, misalnya gambar, peta, denah dan alat peraga lainnya. Metode ceramah dapat diikuti oleh tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.
b.      Metode Tanya jawab
Metode tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab atau suatu metode di dalam pendidikan di mana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya. Menurut Zakiah Daradjat metode tanya jawab adalah salah satu teknik mengajar yang dapat membantu kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode ceramah. Ini disebabkan karena guru dapat memperoleh gambaran sejauhmana murid dapat mengerti dan dapat mengungkapkan apa yang telah diceramahkan. Siswa tunanetra mampu mengikuti pengajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, karena metode ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.
c.       Metode Diskusi
Metode diskusi adalah salah satu alternatif metode yang dapat dipakai oleh seorang guru di kelas dengan tujuan dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan pendapat para siswa. Seiring dengan itu metode diskusi berfungsi untuk merangsang murid berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persolan yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu cara saja, tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan terbaik atau alternatif terbaik. Anak tunanetra dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode diskusi, mereka dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode dsikusi, kemampuan daya fikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.
d.      Metode Drill
Metode Drill atau latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan. Metode Drill merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam metode yang banyak digunakan oleh para pendidik dalam proses belajar mengajar agar tujuan pembelajaran tercapai. Metode ini lebih menitikberatkan kepada keterampilam siswa secara kecakapan motoris, mental, asosiasi yang dibuat dan sebagainya. Metode Drill dapat disebut juga dengan metode latihan atau praktek secara langsung. Anak tunanetra mampu mengikuti metode ini jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.
Metode-metode tersebut jika dibandingkan dengan kenyataannya misalnya di SLB YKAB Surakarta disana guru-guru dalam memberikan pembelajaran menggunakan metode-metode tersebut. Pada saat pembelajaran IPS guru menggunakan metode keempat metode tersebut, awalnya guru menerangkan materi yang terkait dengan peta dan globe misalnya daratan dan lautan. Guru menjelaskan pengertian dan anak disuruh mengeksplore sendiri dengan meraba permukaan peta timbul, tetapi guru tidak bertanya kepada murid sebagai evaluasi pembelajaran sehingga guru tidak mengerti konsep apa yang sudah dipahami anak dan konsep apa yang belum dipahami anak. Hal ini karena guru hanya menjelaskan dan menggunakan metode ceramah yang terlalu banyak.
Guru mengutamakan pemahaman anak tentang materi pembelajaran. Tetapi ada beberapa guru yang mengajarkan anak didiknya hanya dengan membacakan atau menjelaskan materi sesuai kurikulum, meskipun anak tunanetra sama seperti anak normal dalam menerima pembelajaran tetapi anak tunanetra membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat paham konsep dari sebuah globe atau peta yang diajarkan dan pada pembelajaran Bahasa Inggris anak sebenarnya belum paham dengan apa yang dimaksud dengan teks prosedur karena guru hanya menerangkan saja tidak memberikan contoh yang konkrit.

B.     PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG TEPAT BAGI ANAK TUNANETRA
Tujuan pembelajaran merupakan sasaran utama yang harus dicapai setelah proses pembelajaran selesai. Metode dan pendekatan yang tepat untuk mengajar dan aktivitas siswa dalam belajar merupakan hal yang harus diperhatikan ketika merancang suatu rencana pembelajaran. Dengan demikian pemilihan metode sangat penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hal itu senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surakhmad (1986 :75), bahwa metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang akan dicapai John D. Latuheru (1988 : 14) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik atau warga belajar). Selanjutnya Suharsimi Arikunto (1987 : 16) mengemukakan bahwa media adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar untuk lebih mempertinggi efektifitas serta efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin.
Pemilihan media pembelajaran juga harus memperhatikan kondisi siswa sebagai subjek pembelajaran. Pemilihan media belajar harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Misalnya ketika menggunakan media peta timbul yang  digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang yang dijelaskan dalam pelajaran sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan memahami pelajaran sejarah tersebut melalui cerita. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi dan ketertarikan siswa tersebut. Pada saat siswa tunanetra meraba peta timbul dan menerima sensasi raba, siswa diharapkan akan lebih memahami pelajaran yang diberikan, karena mereka telah mengalami perabaan pada media tersebut. Pengalaman tersebut akan lebih mudah tersimpan dalam memori siswa tunanetra. Sehingga dengan media peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada pelajarannya. Lebih jauh lagi, dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Begitu pula dengan pelajaran lainnya, diharapkan guru bisa memilih media yang tepat untuk menyampaikan materi yang diajarkan. Kesesuaian media pembelajaran dan materi pelajaran diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa, kesesuaian tersebut juga harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa sebagai warga belajar.
Hal tersebut sesuai dengan media pembelajaran yang digunakan pada proses pembelajaran di SLB A YKAB Surakarta. Di sekolah tersebut saat mengajarkan pembelajaran IPS tentang pengenalan peta guru menggunakan media peta timbul. Guru mengenalkan berbagai letak pulau-pulau yang ada di peta dengan menyuruh anak meraba tetapi proses pembelajaran tersebut tidak terlalu efektif karena guru tidak bisa memberikan contoh secara konkrit mengenai pulau-pulau yang ada anak tidak paham akan konsep daratan dan lautan. Guru harusnya memberikan penjelasan yang lebih konkrit agar bisa membuat anak paham akan konsep-konsep yang diterangkan guru tersebut.

C.    STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK TUNANETRA
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
a.  Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
b.  Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Kemudian menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1.      Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2.      Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3.      Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek.

4.      Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep.
Dalam pembelajaran di SLB A YKAB, guru telah menggunakan prinsip-prinsip tersebut,  guru menggunakan prinsip individual yaitu guru memahami karakter dari tiap-tiap muridnya.
Pada proses pembelajaran IPS guru memberikan gambaran tentang peta dengan menggunakan peta timbul dan globe, guru menjelaskan tentang daratan dan lautan serta contoh-contohnya dan pada saat pembelajaran Bahasa Inggris anak-anak tunanetra dijelaskan secara konkrit tentang konsep dari suatu daratan dan lautan tersebut dan pada pembelajaran Bahasa Inggris murid tidak diberikan contoh secara konkrit tentang teks prosedur dan aturan-aturan gramernya sehingga anak tidak memahami konsep dari daratan dan lautan, serta pada pembelajaran Bahasa Inggris murid tidak mempunyai gambaran yang konkrit tentang teks prosedur.
Dalam proses pembelajaran di SLB tersebut tidak sesuai dengan teori karena guru tidak mengajar secara total kepada murid dalam memberikan pembelajaran dan kurangnya evaluasi dalam pembelajaran sehingga guru tidak mengetahui konsep apa yang telah dipahami anak.


sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar