PERBANDINGAN TEORI PEMBELAJARAN
ANAK TUNANETRA DENGAN KENYATAAN DI LAPANGAN
Anak tunanetra
sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara
optimal. Oleh karena adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra
membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya, yang meliputi: latihan
membaca dan menulis huruf Braille, penggunaan tongkat, orientasi danmobilitas,
serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Berikut
ini beberapa kontradiksi teori pembelajaran Tunanetra dan kenyataan di lapangan
yang diambil dari pembelajaran di SLB A YKAB yang dilihat saat observasi pada
tanggal 18 Mei 2013.
A. METODE PEMBELAJARAN ANAK
TUNANETRA
Metode-metode
pengajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu, sehingga variasi metode pengajaran bertambah. Pada
dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa
normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam
pelaksanaannya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran
yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan. Di bawah ini, ada
beberapa metode yang dapat di laksanakan dengan menggunakan fungsi pendengaran
dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode
tersebut ialah:
a. Metode
Ceramah
Yang
dimaksud dengan metode ceramah ialah cara penyampaian sebuah materi pelajaran
dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai.
Zuhairini dkk mendefinisikan metode ceramah ialah suatu metode di dalam
pendidikan di mana cara penyampaian pengertian-pengertian materi kepada anak
didik dengan jalan penerangan dan penuturan secara lisan. Untuk penjelasan
uraiannya, guru dapat mempergunakan alat-alat bantu mengajar yang lain,
misalnya gambar, peta, denah dan alat peraga lainnya. Metode ceramah dapat
diikuti oleh tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan
materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi
dari guru.
b. Metode
Tanya jawab
Metode tanya
jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan
murid menjawab atau suatu metode di dalam pendidikan di mana guru bertanya
sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya. Menurut Zakiah
Daradjat metode tanya jawab adalah salah satu teknik mengajar yang dapat
membantu kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode ceramah. Ini
disebabkan karena guru dapat memperoleh gambaran sejauhmana murid dapat
mengerti dan dapat mengungkapkan apa yang telah diceramahkan. Siswa tunanetra
mampu mengikuti pengajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, karena metode
ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.
c. Metode
Diskusi
Metode
diskusi adalah salah satu alternatif metode yang dapat dipakai oleh seorang
guru di kelas dengan tujuan dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan pendapat
para siswa. Seiring dengan itu metode diskusi berfungsi untuk merangsang murid
berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persolan yang
kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu cara saja,
tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan
terbaik atau alternatif terbaik. Anak tunanetra dapat mengikuti kegiatan
belajar mengajar yang menggunakan metode diskusi, mereka dapat ikut
berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode dsikusi,
kemampuan daya fikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan.
Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.
d. Metode
Drill
Metode Drill
atau latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan
latihan secara terus menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang
diharapkan. Metode Drill merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam metode
yang banyak digunakan oleh para pendidik dalam proses belajar mengajar agar
tujuan pembelajaran tercapai. Metode ini lebih menitikberatkan kepada
keterampilam siswa secara kecakapan motoris, mental, asosiasi yang dibuat dan
sebagainya. Metode Drill dapat disebut juga dengan metode latihan atau praktek
secara langsung. Anak tunanetra mampu mengikuti metode ini jika materi yang
disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami
materi pelajaran.
Metode-metode
tersebut jika dibandingkan dengan kenyataannya misalnya di SLB YKAB Surakarta
disana guru-guru dalam memberikan pembelajaran menggunakan metode-metode
tersebut. Pada saat pembelajaran IPS guru menggunakan metode keempat metode
tersebut, awalnya guru menerangkan materi yang terkait dengan peta dan globe
misalnya daratan dan lautan. Guru menjelaskan pengertian dan anak disuruh
mengeksplore sendiri dengan meraba permukaan peta timbul, tetapi guru tidak
bertanya kepada murid sebagai evaluasi pembelajaran sehingga guru tidak
mengerti konsep apa yang sudah dipahami anak dan konsep apa yang belum dipahami
anak. Hal ini karena guru hanya menjelaskan dan menggunakan metode ceramah yang
terlalu banyak.
Guru mengutamakan pemahaman anak tentang materi
pembelajaran. Tetapi ada beberapa guru yang mengajarkan anak didiknya hanya
dengan membacakan atau menjelaskan materi sesuai kurikulum, meskipun anak
tunanetra sama seperti anak normal dalam menerima pembelajaran tetapi anak
tunanetra membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat paham konsep dari
sebuah globe atau peta yang diajarkan dan pada pembelajaran Bahasa Inggris anak
sebenarnya belum paham dengan apa yang dimaksud dengan teks prosedur karena
guru hanya menerangkan saja tidak memberikan contoh yang konkrit.
B.
PEMILIHAN
MEDIA PEMBELAJARAN YANG TEPAT BAGI ANAK TUNANETRA
Tujuan pembelajaran
merupakan sasaran utama yang harus dicapai setelah proses pembelajaran selesai.
Metode dan pendekatan yang tepat untuk mengajar dan aktivitas siswa dalam
belajar merupakan hal yang harus diperhatikan ketika merancang suatu rencana
pembelajaran. Dengan demikian
pemilihan metode sangat penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hal
itu senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surakhmad (1986 :75), bahwa
metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai
tujuan yang akan dicapai John D. Latuheru (1988 : 14) mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan
pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada
penerima (dalam hal ini anak didik atau warga belajar). Selanjutnya Suharsimi
Arikunto (1987 : 16) mengemukakan bahwa media adalah sarana pendidikan yang
digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar untuk lebih
mempertinggi efektifitas serta efisiensi dalam mencapai
tujuan pendidikan seoptimal mungkin.
Pemilihan media pembelajaran juga harus
memperhatikan kondisi siswa sebagai subjek pembelajaran. Pemilihan media
belajar harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Misalnya ketika
menggunakan media peta timbul yang digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang
yang dijelaskan dalam pelajaran sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami
kesulitan memahami pelajaran sejarah tersebut melalui cerita. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi dan ketertarikan siswa tersebut.
Pada saat siswa tunanetra meraba peta timbul dan menerima sensasi raba, siswa
diharapkan akan lebih memahami pelajaran yang diberikan, karena mereka telah
mengalami perabaan pada media tersebut. Pengalaman tersebut akan lebih mudah tersimpan
dalam memori siswa tunanetra. Sehingga
dengan media peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada
pelajarannya. Lebih jauh lagi, dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Begitu
pula dengan pelajaran lainnya, diharapkan guru bisa memilih media yang tepat
untuk menyampaikan materi yang diajarkan. Kesesuaian media pembelajaran dan
materi pelajaran diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa, kesesuaian
tersebut juga harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa sebagai warga
belajar.
Hal tersebut sesuai dengan media pembelajaran yang
digunakan pada proses pembelajaran di SLB A YKAB Surakarta. Di sekolah tersebut
saat mengajarkan pembelajaran IPS tentang pengenalan peta guru menggunakan
media peta timbul. Guru mengenalkan berbagai letak pulau-pulau yang ada di peta
dengan menyuruh anak meraba tetapi proses pembelajaran tersebut tidak terlalu
efektif karena guru tidak bisa memberikan contoh secara konkrit mengenai
pulau-pulau yang ada anak tidak paham akan konsep daratan dan lautan. Guru
harusnya memberikan penjelasan yang lebih konkrit agar bisa membuat anak paham
akan konsep-konsep yang diterangkan guru tersebut.
C.
STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK TUNANETRA
Permasalahan
strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua
pemikiran, yaitu :
a. Upaya memodifikasi lingkungan agar
sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
b. Upaya pemanfaatan secara optimal
indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan
hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Guru
harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak
awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya.
Kemudian menganalisis komponen-komponen mana
saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta
sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya,
pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam
praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan
keberhasilan belajar.
Dalam
pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,
antara lain :
1. Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip
umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut
untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Prinsip layanan
individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi
pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap
perlunya (Individual Education Program – IEP).
2. Prinsip kekonkritan/pengalaman
penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan
oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata
dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai
pengalaman penginderaan langsung. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan
komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip
kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan
relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian
khusus.
3. Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan
guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun
situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan
semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep.
Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach,
yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh
mengenai suatu objek.
4. Prinsip aktivitas mandiri
(selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah
memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri.
Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang
membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan
keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi
pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan
mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya
siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau
konsep.
Dalam pembelajaran di SLB A
YKAB, guru telah menggunakan prinsip-prinsip tersebut, guru menggunakan prinsip individual yaitu
guru memahami karakter dari tiap-tiap muridnya.
Pada proses pembelajaran IPS
guru memberikan gambaran tentang peta dengan menggunakan peta timbul dan globe,
guru menjelaskan tentang daratan dan lautan serta contoh-contohnya dan pada
saat pembelajaran Bahasa Inggris anak-anak tunanetra dijelaskan secara konkrit
tentang konsep dari suatu daratan dan lautan tersebut dan pada pembelajaran
Bahasa Inggris murid tidak diberikan contoh secara konkrit tentang teks
prosedur dan aturan-aturan gramernya sehingga anak tidak memahami konsep dari
daratan dan lautan, serta pada pembelajaran Bahasa Inggris murid tidak
mempunyai gambaran yang konkrit tentang teks prosedur.
Dalam proses pembelajaran di SLB tersebut tidak
sesuai dengan teori karena guru tidak mengajar secara total kepada murid dalam
memberikan pembelajaran dan kurangnya evaluasi dalam pembelajaran sehingga guru
tidak mengetahui konsep apa yang telah dipahami anak.sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar